FARMAKOTERAPI
PENYAKIT
JANTUNG KORONER
Disusun
oleh:
Kelompok 8
Nanda Hidayati 260112160515
Esni 260112160537
Ainun Mardhiah Nasution 260112160559
Rani Sri Augusti 260112160581
Desi Rohadatul Aisy 260112160603
FAKULTAS
FARMASI
PROFESI
APOTEKER
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
2017
FARMAKOTERAPI
PENYAKIT
JANTUNG KORONER
I.
DEFINISI
PJK adalah
istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat menyebabkan
serangan jantung (American Heart Association, 2013). PJK juga disebut penyakit
arteri koroner (CAD), penyakit jantung iskemik (IHD), atau penyakit jantung
aterosklerotik, adalah hasil akhir dari akumulasi plak ateromatosa dalam
dinding-dinding arteri yang memasok darah ke miokardium (otot jantung)
(Manitoba Centre for Health Policy, 2013).
PJK terjadi ketika zat yang disebut plak menumpuk di arteri yang memasok
darah ke jantung (disebut arteri koroner), penumpukan plak dapat menyebabkan angina,
kondisi ini menyebabkan nyeri dada dan tidak nyaman karena otot jantung tidak
mendapatkan darah yang cukup, seiring waktu, PJK dapat melemahkan otot jantung,
hal ini dapat menyebabkan gagal jantung dan aritmia (Centers for Disease
Control and Prevention, 2009).
PJK adalah
penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri jantung yang disebut
pembuluh darah koroner. Sebagaimana halnya organ tubuh lain, jantung pun
memerlukan zat makanan dan oksigen agar dapat memompa darah ke seluruh tubuh,
jantung akan bekerja baik jika terdapat keseimbangan antara pasokan dan
pengeluaran. Jika pembuluh darah koroner tersumbat atau menyempit, maka pasokan
darah ke jantung akan berkurang, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pasokan zat makanan dan
oksigen, makin besar persentase penyempitan pembuluh koroner makin berkurang
aliran darah ke jantung, akibatnya timbullah nyeri dada (UPT-Balai Informasi
Teknologi lipi pangan& Kesehatan, 2009)
II.
PATOFISIOLOGI
Kolesterol yang
menimbun di dinding bagian dalam pembuluh darah, dapat mengakibatkan pembuluh
darah mengalami penyempitan dan aliran darahpun menjadi tersumbat. Akibatnya,
fungsi jantung terganggu karena harus bekerja lebih keras untuk memompa aliran
darah. Seiring perjalanan waktu, arteri-arteri koroner makin sempit dan
mengeras. Inilah yang disebut aterosklerosis (Brown, 2006).
Ateroma pada
arteri koronaria akan menyebabkan stenosis, yang dapat mengganggu aliran
koroner dan menyebabkan iskemia miokard. Penelitian menunjukkan bahwa stenosis
sebesar 60% atau lebih menyebabkan iskemia miokard, yang oleh penderita
dinyatakan sebagai nyeri yang khas disebut angina pektoris (Brown, 2006).
1)
Angina pektoris stabil
Angina pektoris
ditegakkan berdasarkan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu rasa tertekan atau
berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada terutama saat
melakukan kegiatan fisik, terutama dipaksa bekerja keras atau ada tekanan
emosional dari luar. Biasanya serangan angina pektoris berlangsung 1-5 menit,
tidak lebih dari 10 menit, bila serangan lebih dari 20 menit, kemungkinan
terjadi serangan infark akut. Keluhan hilang setelah istirahat (Kusrahayu,
2004).
2)
Angina pektoris yang tidak
stabil
Pada angina pektoris yang
tidak stabil serangan rasa sakit dapat timbul pada waktu istirahat, waktu
tidur, atau aktifitas yang ringan. Lama sakit dada lebih lama daripada angina
biasa, bahkan sampai beberapa jam. Frekuensi serangan lebih sering dibanding
dengan angina pektoris biasa (Kusrahayu, 2004).
3)
Angina varian (prinzmetal)
Terjadi hipoksia dan
iskemik miokardium disebabkan oleh vaso spasme (kekakuan pembuluh darah), bukan
karena penyempitan progesif arteria koroneria. Episode terjadi pada waktu
istirahat atau pada jam-jam tertentu tiap hari. EKG peningkatan segmen ST
(Sutedja, 2008).
4)
Sindrom koroner akut (SKA)
Sindrom klinik yang
mempunyai dasar patofisiologi yang sama yaitu erosi, fisur, ataupun robeknya
plak atheroma sehingga menyebabkan thrombosis yang menyebabkan ketidak
seimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard. Termasuk SKA adalah angina
pektoris stabil dan infark miokard akut. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu
manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering
mengakibatkan kematian (Majid, 2007).
III.
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi jantung koroner ada beberapa macam, diantranya
adalah sebagai berikut :
a.
Angina
Pektoris
Angina pektoris ialah
suatu sindrom klinis di mana didapatkan sakit dada yang timbul pada waktu
melakukan aktivitas karena adanya iskemik miokard (Abdul, 2007).
Klasifikasi
klinis angina pada dasarnya dilakukan untuk mengevaluasi mekanisme terjadinya
iskemik. Pada umumnya angina pektoris dibagi menjadi 3 tipe angina yakni :
1.
Angina
Pektoris Stabil (APS) : sindrom klinik yang ditandai dengan rasa tidak enak di
dada, rahang, bahu, pungggung ataupun lengan, yang biasanya dicetuskan oleh
kerja fisik atau stres emosional dan keluhan ini dapat berkurang bila istirahat
atau oleh obat nitrogliserin.
2.
Angina
Prinzmetal : nyeri dada disebabkan oleh spasme arteri koronaria, sering timbul pada
waktu istirahat, tidak berkaitan dengan kegiatan jasmani dan kadang-kadang
siklik (pada waktu yang sama tiap harinya).
3.
Angina
pektoris tidak stabil (APTS, unstable angina) : ditandai dengan nyeri
dada yang mendadak dan lebih berat, yang serangannya lebih lama (lebih dari 20
menit) dan lebih sering. Angina yang baru timbul (kurang dari satu bulan), angina yang timbul
dalam satu bulan setelah serangan infark juga digolongkan dalam angina tak
stabil (Abdul, 2007).
b.
Infark Miokard Akut
(IMA)
Serangan
infark miokard biasanya akut, dengan rasa sakit seperti angina, tetapi tidak
seperti angina yang biasa, maka disini terdapat rasa penekanan yang luar biasa
pada dada. Bila pasien sebelumnya pernah mendapat serangan angina ,maka ia tahu
bahwa sesuatu yang berbeda dari serangan angina sebelumnya sedang berlangsung.
Juga, kebalikan dengan angina yang biasa, infark miokard akut terjadi sewaktu
pasien dalam keadaan istirahat , sering pada jam-jam awal dipagi hari (Anwar,
2004).
IV.
DIAGNOSIS
Langkah pertama
dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti. Diagnosis yang tepat
amat penting, jika diagnosis PJK telah dibuat terkandung pengertian bahwa
penderitanya mempunyai kemungkinan akan dapat mengalami infark jantung atau
kematian mendadak. Dokter harus memilih pemeriksaan yang perlu dilakukan
terhadap penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang maksimal dengan
resiko dan biaya yang seminimal mungkin. Berikut ini cara-cara diagnostik:
1.
Anamnesis
Anamnesis berguna
mengetahui riwayat masa lampau seperti riwayat merokok, usia, infark miokard
sebelumnya dan beratnya angina untuk kepentingan diagnosis pengobatan (Majid,
2007).
2.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang
dapat digunakan sebagai acuan pada PJK adalah denyut jantung, tekanan darah,
suhu tubuh dan kecepatan respirasi (Majid, 2007).
3.
Laboratorium
Pada pasien angina stabil
sebaiknya dilakukan pemeriksaan profil lipid seperti LDL, HDL, kolesterol
total, dan trigliserida untuk menentukan faktor resiko dan perencanaan terapi.
Selain pemeriksaan diatas dilakukan pula memeriksaan darah lengkap dan serum
kreatinin. Pengukuran penanda enzim jantung seperti troponin sebaiknya
dilakukan bila evaluasi mengarah pada sindrom koroner akut (Majid, 2007).
4.
Foto sinar X dada
X-ray dada sebaiknya
diperiksa pada pasien dengan dugaan gagal jantung, penyakit katup jantung atau
gangguan paru. Adanya kardiomegali, dan kongesti paru dapat digunakan prognosis
(Majid, 2007).
5.
Pemeriksaan jantung non-invasif
a.
EKG merupakan pemeriksaan awal
yang penting untuk mendiagnosis PJK.
b.
Teknik non-invasi penentuan
klasifikasi koroner dan teknik imaging (computed tomografi (CT) dan magnetic
resonance arteriography. Sinar elektron CT telah tervalidasi sebagai alat yang
mampu mendeteksi kadar kalsium koroner (Majid, 2007).
6.
Pemeriksaan invasif menentukan
anatomi koroner
a.
Arteriografi koroner adalah
Pemeriksaan invasif dilakukan bila tes non invasif tidak jelas atau tidak dapat
dilakukan. Namun arteriografi koroner tetap menjadi pemeriksaan fundamental
pada pasien angina stabil. Arteriografi koroner memberikkan gambaran anatomis
yang dapat dipercaya untuk identifikasi ada tidaknya stenosis koroner,
penentuan terapi dan prognosis (Majid, 2007).
V.
HASIL
TERAPI YANG DIINGINKAN
Terapi yang dilakukan bertujuan untuk mencegah
infark miokard, komplikasi dan kematian. Upaya yang dilakukan adalah bagaimana
mengurangi terjadinya trombotik akut dan disfungsi ventrikel kiri. Terapi juga
dilakukan untuk memperbaiki simtom dan iskemia. Terapi pada penderita penyakit jantung koroner tidak bersifat
menyembuhkan melainkan untuk menghambat progresinya baik dengan terapi
farmakologis, revaskularisasi, memperbaiki gaya hidup, atau dengan mengatasi faktor penyebabnya (Majid, 2007).
VI.
PENANGANAN
Terapi farmakologi pada penderita penyakit
jantung koroner dapat dilakukan secara famakologi maupun non farmakologi (misal
dengan pemasangan stent). Terapi dilakukan untuk mengatasi iskemia dan infark
miokard.
A. Penatalaksanaan Infark
miokard
Baik Infark miokard tanpa elevasi segmen ST
(Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), maupun Infark miokard
gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction/STEMI).
a. Tatalaksana untuk NSTEMI
level risiko akan kematian dan iskemia kardiak
non fatal harus dipertimbangkan untuk dapat menentukan arah pengobatan
i.
Pasien
resiko rendah
Tidak ada sakit dada berulang saat perioda
observasi, tidak ada tanda angina saat istirahat, tidak ada peningkatan
troponin atau marker biokimia lain, EKG normal atau tidak ada perubahan selama
episode ketidaknyamanan dada. Obat yang digunakan adalah aspirin dan
klopidogrel, jika keduanya tidak dapat digunakan, maka digunakan
ü Ticlopidine
ü Nitrat
ü β-bloker oral (jika tidak kontra indikasi)
ü antagonis kalsium non-dihidropiridin jika sukar
untuk meneruskan pengobatan yang terdahulu.
ü Senyawa penurun lipid : Inhibitor HMG-CoA
reduktase & diet LDL-c Fibrat atau niasin jika HDL-c
ü Heparin (tidak dilanjutkan jika diagnosa enzim
kardiak sekunder normal) test stress direkomendasikan meskipun selama berada di
RS atau dalam 72 jam. Selanjutnya di follow-up dalam 2-6 minggu (Departemen
Kesehatan, 2007).
ii.
Pasien
resiko tinggi
Jika satu atau lebih dari berikut terjadi pada
pasien :Iskemia berulang. Dapat muncul baik itu berupa sakit dada berulang atau
perubahan segmen ST yang dinamik yang terlihat pada profil EKG. (Depresi segmen
ST atau penaikan segment ST sementara),terjadinya sakit dada saat istirahat
> 20 menit, peningkatan level marker cardiac (CK-MB, Troponim T atau I,
Protein reactive C), pengembangan ketidakstabilan hemodinamik dalam
perioda observasi, Aritmia mayor
(fibrilasi ventrikular, keberulangan takikardia ventrikular) atau disfungsi
ventrikular kiri, Angina tak stabil, post-infarction dini, thrombus pada
angiografi.
Pengobatan dilakukan dengan Istirahat di kasur
dengan monitoring EKG yang tetap berlangsung serta pemberian oksigen untuk
mempertahankan kejenuhan O2 > 90%. Sedangkan pengobatan untuk sakit iskemia
dilakukan dengan:
1. Nitrat. Jika sakit tidak berkurang,
lanjutkan dengan pemakaian IV. Nitrogliserin IV lazimnya diganti dengan nitrat
oral dalam 24 jam periode bebas sakit. Kontraindikasi pada pasien yang menerima
sildenafil dalam 24 jam yang lalu.
2. β – blocker. Direkomendasikan jika tidak ada
kontraindikasi. Jika saki dada berlanjut, gunakan dosis pertama IV yang diikuti
dengan tablet oral.
3. Morfin sulfat. Direkomendasikan jika sakit
tidak kurang dengan terapi anti iskemia yang cukup dan jika terdapat kongesti
pulmonary atau agitasi parah. Dapat digunakan dengan nitrat selama tekanan
darah dimonitor. Perlu diberikan juga obat anti muntah. Penggunaan disertai
perhatian jika terjadi hipotensi pada penggunaan awal nitrat (Departemen
Kesehatan, 2007).
Pilihan
Pengobatan Lain:
1. Antagonis Kalsium. Dapat digunakan ketika
β-bloker kontra indikasi (verapamil & diltiazem lebih disukai). Antagonis
kalsium dihidropiridin dapat digunakan pada pasien yang sulit sembuh hanya
setelah gagal menggunakan nitrat dan β-bloker
2. Inhibitor ACE. Diindikasikan pada hipertensi
yang tetap (walaupun sedang menjalani pengobatan dengan nitrat dan β-bloker).
3. Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan.
Esensial untuk memodifikasi proses penyakit & kemungkinan perkembangannya
menuju kematian, MI atau MI berulang.
4. Aspirin dan Klopidogrel. Sebaiknya
diinisiasi dengan baik. Untuk pasien intoleransi aspirin & ketika
klopidogrel tidak dapat digunakan:
5. Heparin. Heparin bobot molekul rendah (LMWH
= low molecular weight heparin) secara subkutan atau heparin tidak
terfraksinasi (UFH = unfractioned heparin) secara IV dapat ditambahkan sebagai
terapi antiplatelet.
6. Antagonis GP IIb/IIIa. Penggunaannya
direkomendasikan sebagai tambahan aspirin & UFH pada pasien dengan iskemia
berlanjut atau dengan risiko tinggi lainnya & untuk pasien yang intervensi
koroner percutaneous direncanakan
Modifikasi
risiko :
Senyawa
untuk menurunkan lipid
-
Inhibitor HMG-CoA reduktase diet untuk LDL-c
- Fibrat
atau niasin jika HDL-c (Departemen
Kesehatan, 2007).
Berdasarkan
Wells, et al. (2009) penatalaksanaannya seperti yang terlihat pada
gambar berikut :

iii. Aspirin
Pemberian aspirin mengurangi resiko kematian atau mengurangi berkembangnya MI sekitar 50% dibandingkan tanpa terapi antiplatelet pada pasien dengan NSTEMI.
iv. Clopidogrel
Karena potensi peningkatan risiko perdarahan dengan kombinasi terapi antiplatelet, dosis rendah aspirin (75 sampai 100 mg / hari) dianjurkan untuk terapi pemeliharaan dengan clopidogrel.Pada pasien yang menjalani coronary artery bypass grafting, clopidogrel (bukan aspirin) harus ditahan minimal 5 hari dan lebih 7 hari sebelum prosedur.
v. Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Inhibitors
Pemberian tirofiban atau eptifibatide direkomendasikan untuk NSTEMI risiko tinggi sebagai terapi medis tanpa revaskularisasi direncanakan. Administrasi baik abciximab atau eptifibatide
direkomendasikan untuk pasien NSTEMI yang menjalani PCI (percutaneous
coronary intervention). Tirofiban dan eptifibatide
juga diindikasikan pada pasien dengan iskemia
berlanjut atau iskemia berulang meskipun sedang diterapi dengan aspirin,clopidogrel, dan antikoagulan (Wells,
et al., 2009).
b. Tatalaksana
untuk STEMI
Pasien STEMI mempunyai resiko tinggi kematian dan perfusi koroner harus segera diperbaiki. Pada pasien STEMI, fibrinolisis atau PCI primer (baik menggunakan balon angioplasty atau stent)merupakan pengobatan pilihan untuk membangun kembali aliran darah arteri koroner ketika pasien datang dalam waktu 3 jam dari timbulnya gejala. PCI primer memiliki resiko tingkat kematian yang lebih rendah dari fibrinolisis, mungkin karena PCI membuka >90% arteri koroner dibandingkan dengan fibrinolitik (kurang dari 60%). Risiko perdarahan intrakranial dan perdarahan besar juga lebih rendah dengan PCI dibandingkan dengan fibrinolisis (Wells, et al., 2009).

Penatalaksanaan pada Pasien STEMI. Sumber :
(Wells, et al., 2009).
i.
Terapi
Fibrinolitik
Agen fibrinolitik diindikasikan pada pasien dengan STEMIdalam waktu 12 jam dari timbulnya gejala ketidaknyamanan dada,juga harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala iskemia persisten yang dalam waktu 12 sampai 24 jam dari onset gejala. Kontraindikasi mutlak untuk terapi fibrinolitik meliputi: (1) pendarahan internal aktif; (2) pernah mengalami ICH (intracranial hemorrhage) sebelumnya; (3) stroke iskemik dalam waktu 3 bulan sebelumnya;(4)neoplasma intrakranial; (5)lesi struktural vaskular; (6) diduga adanya diseksi aorta; dan (7) kepala tertutup signifikan atau mengalami trauma dalam waktu 3 bulan sebelumnya. PCI primer lebih disukai dalam situasi ini. Pasien yang memenuhi syarat harus ditangani sesegera mungkin, tetapi sebaiknya dalam waktu 30 menit dari waktu mereka tiba di gawat darurat dengan salah satu obat berikut, baik dengan alteplase, reteplase, tenecteplase, atau streptokinase. ICH dan perdarahan utama adalah efek samping yang paling serius. Risiko ICH lebih tinggi dengan agen fibrin-spesifik daripada dengan streptokinase. Namun,risiko perdarahan sistemik selain ICH lebih tinggi dengan streptokinase dari dengan agen fibrin-spesifik.
ii. Aspirin
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanpa kontraindikasi dalam waktu 24 jam pertama masuk rumah sakit. Hal ini bertujuan untuk mengurangi mortalitas pada pasien STEMI yang diberikan terapi fibrinolitik. Aspirin dosis rendah dikaitkan dengan penurunan risiko pendarahan besar, terutama pendarahan GI. Gangguan GI lain (misalnya, dispepsia, mual)jarang terjadi dengan aspirin dosis rendah. Ibuprofen sebaiknya tidak diberikan secara teratur bersamaan dengan aspirin karena dapat menghalangi efek antiplatelet aspirin.
iii. Thienopiridine (clopidogrel)
Clopidogrel direkomendasikan pada pasien yang alergi dengan aspirin.
iv. Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Inhibitors
Abciximab adalah lini pertama GP IIb / IIIa inhibitor untuk pasien yang menjalani PCI primer yang belum menerima fibrinolitik. Seharusnya tidak diberikan pada pasien STEMI yang tidak akan menjalani PCI. Abciximab lebih disukai daripada eptifibatide dan tirofiban karena paling banyak diteliti dalam uji PCI primer. Abciximab, di kombinasi dengan aspirin, thienopiridine, dan UFH (unfractionated heparin) (diberikan sebagai infus selama prosedur), mengurangi mortalitas dan reinfarksi tanpa meningkatkan risiko pendarahan besar.
v. Antikoagulan
Unfractionated Heparin (UFH) merupakan antikoagulan lini pertama pada STEMI, baik untuk terapi medis maupun PCI. UFH harus diberikan di unit gawat darurat dan dilanjutkan selama disetidaknya 48 jam pada pasien yang akan menerima warfarin kronis setelah MI akut. Jika pasien mengalami PCI, UFH dihentikan segera setelah prosedur. Selain perdarahan, efek samping UFH yang paling sering adalah immunemediated trombositopenia, yang terjadi hingga pada 5% dari pasien.
vi. Nitrat
Segera setelah iskemia, satu tablet SL NTG (sublingual nitroglycerin) harus diberikan setiap 5 menit sampai tiga dosis untuk meringankan nyeri dada dan iskemia miokard. Efek samping yang paling signifikan dari nitrat adalah takikardia, flushing,sakit kepala, dan hipotensi. Nitrat dikontraindikasikan pada psien yang telah menggunakan sildenafil dan vardenafil dalam waktu 24 jam sebelumnya atau tadalafil dalam 48 jam sebelumnya.
vii. β-Blocker
Jika tidak ada kontraindikasi, β-blocker harus diberikan lebih awal dalam perawatan pasien dengan STEMI (dalam 24 jam pertama)dan pemberian diteruskan. Manfaat hasil dari blokade reseptor β1 di miokardium yaitu mengurangi denyut jantung, kontraktilitas miokard, dan BP, sehingga mengurangi kebutuhan oksigen miokard. Denyut jantung yang berkurang meningkatkan waktu diastolik, sehingga meningkatkan pengisian ventrikel dan perfusi arteri koroner. Karena efek ini, β-blocker mengurangi risiko iskemia berulang,mengurangi ukuran infark, risiko reinfarksi, dan terjadinya aritmia ventrikel.
viii. Calcium Channel Blocker
Calcium channel blockers diberikan apabila pasien dikontraindikasikan dengan beta bolcker dan hanya digunakan untuk mengurangi rasa nyeri iskemia.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat pemakaian oksigen,
yaitu:
1. Denyut jantung
Apabila denyut jantung bertambah
cepat maka keperluan oksigen permenit akan meningkat.
2. Kontraktilitas
Dengan bekerja maka akan banyak
dikeluarkannya katekolamin (adrenalin dan nor adrenalin), sehingga akan
menambah tenaga kontraksi jantung.
3. Tekanan sistolik ventrikel kiri.
Makin tinggi tekanan sistolik,
makin banyak pemakaian oksigen.
4. Ukuran jantung
Jantung yang besar memerlukan
oksigen yang banyak (Anwar, 2017)
VII.
EVALUASI HASIL TERAPI
Pemantauan
untuk efek terapi baik pada STEMI maupun NSTEMI adalah hilangnya
ketidaknyamanan akibat iskemik, perubahan EKG menjadi normal, tidak terjadi
atau tidak adanya tanda-tanda gagal jantung. Pemantauan efek samping obat
tergantung pada masing-masing obat, tetapi efek samping yang paling sering
muncul adalah hipotensi dan pendarahan (Wells, et al., 2009).
VIII. CONTOH KASUS
DAN SOLUSINYA
Seorang pasien anak laki-laki, umur 9 tahun masuk ke
bangsal anak Rumah Sakit XXX pada
tanggal 25 Maret 2010 dengan keluhan utama jantung berdebar, bengkak pada kaki
dan nafas sesak. Sesak nafas lebih kurang sudah satu bulan ini. Hilang timbul.
Sekarang, sesak lebih kurang 10 hari. Kemudian dinding dada sering bergetar.
Terlihat oleh keluarga lebih kurang satu bulan ini. Kaki bengkak lebih kurang
10 hari dan menetap, tidak ada biru di tubuh, BAK dan BAB biasa. Tidak memiliki
riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit keluarga belum diketahui/ tidak
ada keluarga yang bisa dihubungi. Memiliki kebiasaan sering mengalami bengkak
pada kaki. Sesak nafas bila berlari. Keadaan secara umum berat.
a.
Subjek
- Umur 9 tahun
- Seorang anak laki-laki
- Riwayat penyakit keluarga belum diketahui
- Sesak nafas lebih kurang satu bulan, hilang timbul dan sekarang
sesak lebih kurang 10 hari
- Dinding dada sering bergetar
- Kaki bengkak lebih kurang 10 hari, tidak ada biru di tubuh
- BAK dan BAB biasa
b.
Objek
TD : 90/60
BB : 23 kg
Nadi : 110 x menit
Nafas : 40 x menit
Suhu : 36ᵒC
Pemeriksaan darah :
Na = 138 mmol/L (136-145 mmol/L)
K = 3,9 mmol/L (3,5 – 5,1 mmol/L)
Cl = 109 mmol/L (97 – 111 mmol/L)
c.
Assesment
Problem medic
|
Subject/Object
|
Terapi
|
Analisis
|
Gagal Jantung
|
•Dinding dada sering bergetar
•Kaki bengkak lebih kurang 10 hari, tidak ada biru di tubuh
•BAK dan BAB biasa
•Sesak nafas lebih kurang satu bulan
TD :
90/60
BB :
23 kg
Nadi :
110 x menit
Nafas :
40 x menit
Suhu :
36ᵒC
|
IVFD D5 + NaCl 0,9 %
Lasix 1 X 20 mg inj.
Digoxin 0,5 mg sebagai loading dose, lalu
dilanjutkan 0,25 mg dan dilanjutkan 0.125 mg
Diet Jantung II 1500 kkal
O₂ 3L/menit
|
Penggunaan digoxin tidak rasional, karena
melebihi dosis yang disarankan.
Penggunaan loading dose dengan dosis 0.5
mg sudah tepat Untuk mencapai terapeutik windows digoxin dalam plasma
diperlukan waktu 12-24 jam. Jika tidak diberikan loading dose, konsentrasi
dalam plasma baru akan tercapai selama 3-5 hari terapi (BNF, 2012).
Pemberian Digoxin dan Lasix® memungkinkan
adanya toksisitas (BNF, 2012).
|
Follow up
Gagal jantung
Hari ke-1
|
Sesak nafas, dada kiri berdebar dan kaki
bengkak
TD
: 90/60
Nadi
: 110 x/menit
Nafas
: 46 x/menit
Suhu
: 36,7 ᵒC
|
Lasix injeksi 20 mg
Digoxin 0, 5 mg sebagai loading dose dan
dilanjutkan dengan 0,125 mg sebagai maintenance dose
IVFD D5+ NaCl 0,9 % (11 tts/1)
Kontrol intake/output
Kontrol EKG
|
|
Follow up
Gagal jantung
Hari ke- 2
|
Sesak nafas (pagi), demam dan sesak nafas
(jam 10.00 WIB)
TD
: 100/60
Suhu
: 40 ᵒC
Nadi
: 66 x/i
|
Digoxin 0,125 mg
Paracetamol 340 mg (4x 1)
Lasix injeksi 20 mg
Kontrol intake/output
|
|
Follow up
Gagal jantung
Hari ke-3
|
Demam, sesak nafas
|
Digoxin 0,25 mg (3×1)
Paracetamol 340 mg (4x 1)
Cefadroxil 250 mg (2 x 1)
Furocemide 1 x 20 mg (1×1)
|
Pada pasien yang menerima terapi diuretik
seperti furosemid dan digoxin harus dilakukan pemantauan/monitoring kadar K,
Mg, Ca. Hipokalemia yang diinduksi oleh furosemid akan menyebabkan toksisitas
pada digoksin yaitu dapat menyebabkan meningkatnya distribusi digoxin ke
jantung dan otot. Pada pasien tidak
ditemukan adanya tanda-tanda keracunan digitalis, karena kadar Kalium pasien
masih dalam range normal yaitu 3,9 mmol/L (BNF, 2012).
|
Follow up
Gagal jantung
Hari ke- 4
|
Batuk, Buang Air Besar (-) sudah 4 hari,
masih sesak nafas, kurang nafsu makan
|
Digoxin 0,25 mg ( 3x 1)
Paracetamol 340 mg (4×1)
Cefadroxil 250 mg ( 2×1)
Furocemide 20 mg ( 1×1)
|
|
Follow up
Gagal jantung
Hari ke- 5
|
Batuk, Buang Air Besar (-) sudah 4 hari,
masih sesak nafas
|
Digoxin 0,25 mg (3×1)
Paracetamol 340 mg (4×1)
Cefadroxil 250 mg (2 X 1)
|
d.
Analisis Drug Related Problems
( DRPs)
Jam pemberian
obatnya masih terdapat kesalahan. Cefadroxil adalah obat yang tidak tepat
indikasi. Selain itu Dosis terapi cefadroksil tidak mencukupi. Dosis digoxin
melampaui batas yang dibolehkan. Digoxin diberikan secara oral yaitu dalam
bentuk puyer.
Dosis sudah tepat
yaitu loading dose untuk anak usia 5-10 tahun adalah 15-30 mcg/kg. Berat pasien
adalah 23 kg. berarti dosis yang diperlukan untuk loading dose adalah 23 kg X
15 mcg/kg = 345 mcg dan 30 mcg X 23 mcg/kg= 690 mcg. Obat yang diberikan 500
mcg. Artinya, obat berada dalam range yang diperbolehkan. Untuk maintenance
dose, tidak tepat karena melebihi range dosis untuk anak usia 5-10 tahun. Range
dosis digoxin sebagai maintenance adalah 5-10 mcg/kg. Range bawah 23 kg X 5
mcg/kg= 115 dan 23 mcg X 10 = 230 mcg. Dosis yang diberikan adalah 0.25 mg X 3
= 0.75 atau 750 mcg. Sementara range dosis yang dibolehkan adalah 115-230 mcg,
artinya kemungkinan besar terjadi tokisistas pada pasien karena terapeutik windows
sudah terlewati (BNF, 2012).
Lasix® diberikan
secara iv lambat yaitu tidak lebih dari 4 mg/menit karena efek sampingnya akan
menyebabkan tinnitus dan tuli sementara pada pasien jika diberikan secara iv
cepat. pH Lasix® adalah 9,1 sehingga Lasix® tidak bisa diberikan secara i.m
karena akan menyebabkan rasa sakit pada otot disebabkan pH yang basa (BNF,
2012).
Pemberian
cefadroxil 250 mg 2X1 tidak ada indikasi karena pasien tidak mengalami infeksi.
Kadar leucosit pasien masih berada pada range normal. Selain itu, Ada Drug
related problem pada pemberian cefadroksil yaitu pada regimen dosis. Pasien
diberikan terapi pada jam 08.00 dan jam 18.00. Seharusnya obat kedua diberikan
pada jam 20.00. Dosis lazim untuk cefadroxil adalah 3 mg/kg BB. Sedangkan
pasien diberikan terapi 250 mg 2X1. Dosis tidak mencukupi. Seharusnya dosis
yang diberikan adalah 690 mg/hari. Pemberian parasetamol ditujukan untuk
mengatasi demam pada pasien. Akan tetapi, demam ini diduga karena adanya
pemasangan infus, karena terlihat penurunan suhu yang cukup signifikan setelah
infus dilepas.
e.
Plan
Masih terdapat adanya DRP/drug related problem pada penggunaan obat
pasien, yaitu pada dosis digoxin yang melampau batas. Disarankan agar dosis
diturunkan pada range yang diperbolehkan yaitu pada range 115-230 mcg. DRP pada
penggunaan cefadroksil. Regimen dosis
seharusnya setiap 12 jam dan dosis yang diberikan harus lebih besar
yaitu 690 mg agar tidak terjadi resistensi pada pasien (BNF, 2012).
Untuk monitoring, diperlukan adanya pemeriksaan kadar Na dan K
setelah pemberian Lasix dan digoxin untuk melihat apakah Lasix menyebabkan
hipokalemia yang mengakibatkan toksisitas pada digoxin. Selain itu, diperlukan
pemeriksaan dan pemantauan kadar digoxin dalam darah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Majid. 2007. Penyakit jantung
koroner: Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan Terkini. e-USU
repository Universitas Sumatera Utara.
American Heart Association (AHA). Cardiovascular Disease and
Diabetes (09 Maret 2017).Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://www.org/HEARTORG/conditions/Diabetes/whyDiabetesMatters/Cardiovascular-Disease-Diabetes
UCM 313865 Article.jsp
Anwar
B. T., 2004. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Available from
:http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri4.pdf. (diakses pada tanggal 09 Maret 2016).
Anwar,
Tanvir. 2017. Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner.
https://www.researchgate.net/publication/42321417_Patofisiologi_Dan_PenatalaksanaanPenyakit_Jantung_Koroner. Tanggal akses 9 Maret 2017.
BNF. 2012. BNF for
children, Lexicomp Drug Information Handbook Ed. 2011-2012. British:
BNF.org
Brown, C. T., 2006, Penyakit Aterosklerotik Koroner, dalam Price,
S.A. dan Wilson, L.M., Patofisiologi Konsep-konsep Proses Penyakit,
diterjemahkan oleh Pendit, B.U., Hartanto, H., Wulansari, P., Susi, N. dan
Mahanani, D.A., Volume 2, Edisi 6, 579-585, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Centers for Disease Control and
Prevention, 2007. Sexually Transmitted Diseases. USA: Department of
Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention.
Available from: http://www.cdc.gov/std/trichomonas/STDFact-Trichomoniasis.htm
[Accessed 09 March 2017]
Departemen
Kesehatan. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner :
Fokus Sindrom Koroner Akut. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Kusrahayu, I., 2004, Gambaran Penggunaan Obat Pada Pasien Jantung
Koroner di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. Soedono Madiun Jawa Timur Tahun 2004,
Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhamadiyah Surakarta, Surakata.
Majid, A., 2007, Penyakit Jantung Koroner
:Patofisiologis, Pencegahan, Dan Pengobatan Terkini, (online), (http://respository.usu.ac.id/bitstream/123456789/705/1/08E00124.pdf diakses 9 Maret 2017)
Sutedja, 2008, Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Amara
Books, Yogyakarta.
UPT –Balai Informasi Teknologi LIPI.
Pangan Kesehatan:Kolesterol.2009.
Availabel From : URL :www.bit.lipi.go.id/pangan-kesehatan.
Wells, B., G., J.T., DiPiro, T.L.,
Schwinghammer, C.V., DiPiro, 2009, Pharmacotherapy
Handbook, seventh edition, McGraw Hill, New York.
Komentar
Posting Komentar